Rudal Balistik. |
Juru bicara Pentagon seperti dilansir BBC, Jumat (24/1/2020), menerangkan, sebanyak 17 personel militer lainnya masih dalam observasi medis.
Rudal Iran menghantam dua pangkalan AS di Irak sebagai buntut kematian jenderal top mereka, Qasem Soleimani, yang merupakan komandan Pasukan Quds.
Dalam konferensi pers, Presiden Donald Trump sempat menyatakan bahwa tidak ada yang terluka dalam serangan itu.
Namun, Pentagon kemudian mengakui bahwa ada 11 tentara AS yang mengalami gegar otak, semuanya berasal dari Pangkalan Ain al-Assad.
Dilansir BBC, Jumat (24/1/2020), militer kemudian menyatakan bahwa terdapat 34 prajurit yang menderita cedera otak traumatis (TBI).
Dalam partisipasinya di Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, Trump menekankan bahwa pasukannya tidak menderita cedera serius.
"Saya mendengar bahwa mereka sakit kepala atau semacamnya. Namun, akan saya katakan dan laporkan, tidak ada yang serius," katanya.
"Saya tidak melihat mereka mengalami luka yang paling serius," terang Trump mengomentari serangan di Assad dan Irbil itu.
Namun, juru bicara Pentagon Jonathan Hoffman menuturkan, delapan tentara yang mengalami cedera dibawa ke AS untuk perawatan lanjutan.
Kemudian sembilan orang di Jerman, 16 dirawat di Irak, dan satu di Kuwait sebelum tentara dari dua tempat terakhir diizinkan kembali bertugas.
Hoffman menambahkan, Menteri Pertahanan Mark Esper tidak mendapat pemberitahuan beberapa hari setelah serangan rudal Iran.
TBI disebut cukup sering ditemui di medan perang, di mana Pusat Cedera Otak Veteran dan Pertahanan AS menulis penyebabnya karena ledakan.
Luka itu dikategorikan ringan, sedang, berat, hingga penetrasi. TBI ringan disebut gegar otak, dan terjadi akibat "tekanan berlebih atmosferik diikuti tekanan" ledakan.
Tekanan udara yang menembus benda padat memang tidak membuat tentara mengalami luka secara fisik. Namun, mereka bisa mendapat cedera di otaknya.
Veteran Irak dan Afghanistan Amerika mengecam pemerintahan Trump karena baru sekarang mengungkapkan fakta adanya korban.
"Rakyat AS harus meyakinkan pemerintah guna menjelaskan apa yang terjadi dengan anak-anak," ucap pendiri organisasi, Paul Rieckhoff.
Sumber: BBC