Sumber Gambar : https://www.pa-panyabungan.go.id/en/layanan-masyarakat/hak-hak-istri-pasca-perceraian |
MASA PEMBAYARAN BEBAN IDAH DAN MUTAH DALAM PERKARA CERAI TALAK
(Sebuah Implementasi Hukum Acara di Pengadilan Agama)[1]
Oleh: Syaiful Annas (Vnn.co.id mengambil dari situs https://www.pa-kualakapuad.go.id)
- PENDAHULUAN
Pernikahan merupakan hubungan suci, murni dan sakral (mitsaqan ghalizhan), yang harus dijaga oleh pasangan suami-istri. Penjagaan tersebut tentunya dengan dipenuhinya sebuah kewajiban dan diperolehnya hak-hak sebagai konsekuensi dari sebuah pernikahan. Di dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan “pernikahan adalah hubungan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa”[2] dan juga disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam bahwa, “pernikahan menurut Islam adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah”.[3]
Hikmah pensyariatan pernikahan sendiri ditetapkan Allah ta’ala untuk merealisasikan hikmah-hikmah yang banyak, orientasi-orientasi yang brilian dan tujuan-tujuan yang luhur yang mengakomodasi antara dorongan gejolak naluriah manusia dan keluhuran jiwa dan perasaan dengan kesucian masyarakat dan kekuatan (bangunan korelasinya).[4] Pernikahan merupakan proses penyatuan dua kepribadian, sikap dan pemikiran. Oleh karena itu salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh keduanya (calon suami dan calon istri) apabila akan menikah adalah kematangan fisik dan mental agar dalam perjalanan kehidupan rumah tangganya tidak terjadi perselisihan di kemudian hari yang berakibat pada perceraian.
Dalam Islam sendiri sebuah perceraian merupakan perkara yang halal akan tetapi tidak disenangi oleh Allah swt[5]. Rasullullah SAW melarang keras terjadinya perceraian karena dalam perceraian bukan hanya suami-istri yang dirugikan, tetapi apabila dari keduanya mempunyai seorang anak, maka anak tersebutlah yang dirugikan karena tidak adanya kasih sayang dari salah satu orang tua kandungnya. Apabila pasangan suami-istri telah bercerai secara yuridis (hukum) di Pengadilan Agama, mereka tetap mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh keduanya terutama kewajiban suami terhadap istrinya yakni untuk membayar beberapa nafkah, baik idah maupun mutah, terutama apabila ada pembebanan yang disebutkan dalam amar putusan yang dikeluarkan Pengadilan Agama.
Kewajiban suami yang dimaksud telah disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam bahwa “suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya atau mantan istri yang masih dalam masa idah”.[6] Hal ini menunjukkan bahwa seorang suami masih mempunyai kewajiban atas istri yang telah diceraikannya sebelum masa idahnya habis. Dengan pembebanan yang diformulasikan dalam putusan pengadilan agama, maka suami tidak boleh tidak dalam melaksanakan tanggung jawab atau kewajibannya tersebut. Sayangnya pemahaman pembayaran nafkah idah dan mutah hanya dipahami sebagai kewajiban hukum yang dilaksanakan sebagai implikasi perceraian tidak melihat lebih jauh bagi kemaslahatan bagi mantan istri, apalagi setelah suami mengucapkan ikrar talaknya kemudian pergi dan tidak diketahui rimbanya dengan meninggalkan beban kewajibannya yang diputus oleh pengadilan agama.
Berdasarkan problem tersebut perlu kiranya seorang wanita yang dicerai suaminya diberikan sebuah kepastian hukum atas hak dari pembayaran idah dan mutah kepadanya, sehingga diperlukan pemikiran hukum oleh Hakim, baik berupa terobosan hukum yang merupakan hasil ijtihad atas dasar kemaslahatan ummat dalam hal ini perempuan sebagai sebuah pembaharuan hukum demi menjaga hak-hak perempuan yang selama ini banyak dirugikan.
Ide artikel ini muncul selain melihat fenomena sebagaimana diuraikan di atas dan juga terinspirasi dari rekomendasi dari artikel yang ditulis oleh Kusnoto[7] dan dipublikasikan pada badilag.net dengan judul “Masa Pembayaran Beban Mutah dan nafkah Idah Kaitannya Dengan Hak Pengucapan ikrar Talak (Kajian putusan perkara cerai talak yang memuat beban mutah dan nafkah idah)”. Dalam tulisan tersebut membuka ruang bagi penulis dengan rekomendasinya yang mengharapkan munculnya artikel dengan tema yang sama/mirip demi kesempurnaan pemikirannya, sehingga gagasan yang ada dalam tulisan tersebut bisa menambah khazanah pemikiran hukum di peradilan agama, karena pada dasarnya masalah ini sampai sekarang tidak banyak Pengadilan Agama melaksanakan penentuan batas waktu pembayaran nafkah idah dan mutah. Selain itu juga pada faktanya kita seringkali dihadapkan antara sebuah teori dan realita, seringkali terjebak antara sebuah teks dan konteks. Artikel ini ingin memunculkan kembali penting tidaknya ditentukan secara jelas dan pasti masa pembayaran nafkah idah dan mutah kepada perempuan yang dicerai di Pengadilan Agama, dengan melakukan penelusuran sederhana aspek-aspek yang mendasari dan melatarbelakangi untuk itu.
Berdasarkan SEMA Nomor 3 Tahun 2015 tanggal 29 Desember 2015, tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, khususnya pada bagian hasil rapat pleno kamar agama dalam poin 12 disebutkan “dalam amar putusan cerai talak, tidak perlu menambahkan kalimat “memerintahkan Pemohon untuk membayar atau melunasi beban akibat cerai sesaat sebelum atau sesudah pengucapan ikrar talak” karena menimbulkan eksekusi premature”. Dari ketentuan tersebut penulis sama sekali tidak bermaksud menyimpangi atau bahkan tidak mematuhi isi ketentuan tersebut, akan tetapi tulisan ini murni sebagai kajian ilmiah dan ekspresi pemikiran, melalui sedikit pertimbangan dengan harapan siapa tahu dikemudian hari bisa dijadikan bahan pemikiran dan kajian. Sebagaimana pendapat Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah (w.751 H) menyebutkan sebuah kaidah yang artinya “bahwasanya fatwa dapat berubah karena adanya perubahan zaman, tempat, keadaan dan niat”[8]
- PEMBAHASAN
- Sekilas tentang Nafkah idah dan Mutah
- Nafkah Idah
Nafkah idah terdiri dari dua kata nafkah dan idah. Secara bahasa kata nafkah dan idah berasal dari bahasa arab. Kata Nafkah berasal dari kata النفقة yang bermakna المصروف والإنفاق yaitu biaya, belanja, pengeluaran uang.[9] Kata nafkah juga ada yang mengatakan dari kata al-infaq yang berarti pengeluaran.[10] Namun apabila kata nafaqah ini dihubungkan dengan perkawinan mengandung arti “sesuatu yang dikeluarkan dari hartanya untuk kepentingan istrinya sehingga menyebabkan hartanya menjadi berkurang.[11] yang dimaksud dengan nafkah istri yakni termasuk termasuk kewajiban suami terhadap istrinya seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, mencarikan pembantu dan obat-obatan, apabila suaminya kaya.[12]
Kata idah berasal dari bahasa arab (عدّ – يعدّ – عدّة) dan jamaknya ‘idad yang mempunyai arti hitungan.[13] Maksud dari kata hitungan tersebut yaitu masa tunggu seorang perempuan yang ber-idah untuk berlalunya waktu. Definisi idah di dalam kitab fiqih ialah masa tunggu yang dilalui oleh seorang perempuan untuk mengetahui bersihnya rahim atau untuk ibadah.[14] Oleh karena itu seorang perempuan yang telah dicerai talak oleh suaminya di pengadilan–yang menyelesaikan perkara mereka–supaya dapat menikah lagi untuk mengetahui bersihnya rahim atau untuk melaksanakan perintah Allah SWT. Seorang perempuan yang dicerai suaminya dalam bentuk apapun, cerai hidup atau cerai mati, sedang hamil atau tidak hamil dan masih berhaid atau tidak berhaid, maka wajib menjalani masa idah.
Di antara legalitas nafkah idah adalah sebagai berikut:[15]
- al-Thalaq ayat 1, yang artinya:
“hai nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu menceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu idah itu serta bertwakkallah kepada Allah Tuhanmu, janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri, kamu tidak mengetahui barangkali Allah menhadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru”.
- al-Thalaq ayat 6, yang artinya:
“tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”.
- Hadits riwayat Nasa’i:
“dari Fathimah bin qays, ia berkata: “aku menemui nabi saw dan menjelaskan bahwa aku adalah anak dari keluarga Khalid suamiku si Fulan, mengutus seseorang kepadaku untuk menyampaikan talaknya. aku menuntut kepada keluarganya hakku terhadap nafkah dan tempat tinggal. Mereka tidak mengabulkannya. mereka menjelaskan kepada Rasulullah bahwa “suaminya telah menyampaikan talak sebanyak tiga kali” fatimah berkata lagi “Rasulullah saw bersabda: hak nafkah dan tempat tinggl hanya dimiliki oleh seorang perempuan apabila suaminya masih memiliki hak rujuk kepadanya”
Adapun tujuan dan hikmah diwajibkannya beridah ialah untuk mengetahui bersihnya rahim seorang perempuan dari bibit yang ditinggalkan oleh mantan suaminya, untuk ta’abbud (memenuhi kehendak Allah) dan agar suami yang telah menceraikan istrinya berpikir kembali dan menyadari bahwa tindakan itu tidak baik serta menyesali tindakannya.[16]
Seorang istri yang telah bercerai dengan suaminya masih mendapatkan hak dari mantan suaminya selama masih dalam masa idah, karena pada masa tersebut seorang istri tidak boleh keluar rumah dan juga tidak boleh menerima pinangan orang lain. Istri yang telah bercerai dengan suaminya akan mendapatkan hak-hak terbagi menjadi tiga, yaitu:
- Seorang istri yang dicerai oleh suaminya dalam bentuk thalaq raj’iy, hak yang akan diterimanya penuh dan akan mendapatkan hal-hal yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidupnya, baik itu pakaian, makanan dan tempat tinggal.[17]
- Seorang istri yang dicerai oleh suaminya dalam bentuk thalaq bain sughra dan thalaq bain kubra yang dalam keadaan hamil. Ulama telah sepakat bahwa istri tersebut mendapatkan hak nafaqah dan tempat tinggal hingga melahirkan. Apabila istri tidak dalam keadaan hamil dan di talak ba’in kubra, para ulama’ berbeda pendapat. Pertama, istri berhak mendapatkan tempat tinggal dan nafkah. Pendapat ini menurut ulama’ Hanafiyah, Umar bin Khattab, Umar bin Abdul Aziz, Ats-Tsauri dan Ahmad.[18] Kedua, istri tidak berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal, pendapat ini menurut Imam Ahmad dalam riwayat yang mashur, Abu Tsaur dan Abu Daud.[19] Ketiga, istri mendapatkan tempat tinggal akan tetapi tidak berhak mendapatkan nafkah, pendapat ini menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad.[20]
- Seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya. Apabila seorang istri yang telah ditinggal tersebut dalam keadaan hamil, ulama telah sepakat bahwa dia berhak atas nafkah dan tempat tinggal, sedangkan apabila istrinya tidak dalam keadaan hamil maka para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama di antaranya Imam Malik, Imam Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa istri yang menjalani masa idah wafat berhak mendapatkan tempat tinggal.[21] Sebagian ulama di antaranya Imam Ahmad berpendapat bahwa istri yang menjalani masa idah wafat dan tidak hamil, tidak berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal.
- Mutah
Selain dibaca mutah (المتعة; dengan dhammaħ mim), ia juga terkadang dibaca dengan mit’ah (dengan kasrah mim). Kata mutah sendiri merupakan variasi lain dari kata al-mata’ (المتاع), yang berarti sesuatu yang dijadikan sebagai objek bersenang-senang (ما يستمتع به). Secara definitif, makna mutah adalah “sejumlah harta yang wajib diserahkan suami kepada isterinya yang telah diceraikannya semasa hidupnya dengan cara talak atau cara yang semakna dengannya” (مال يجب على الزوج دفعه لامرأته المفارقة في الحياة بطلاق وما في معناه).[22]
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, mutah ialah sesuatu (uang, barang dsb) yang diberikan suami kepada istri yang telah diceraikannya sebagai bekal hidup (penghibur hati) bekas istrinya.[23] yang menjadi legalitas mutah adalah QS. al-Baqarah (2): 241, yang artinya: “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mutah menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa”.
Pemberian mutah merupakan perintah Allah SWT kepada para suami agar selalu mempergauli istrinya dengan prinsip imsak bil ma’ruf aw tasrihu bi ihsan (mempertahankan ikatan perkawinan dengan kebaikan atau melepaskan/ menceraikan dengan kebajikan). Anjuran ini mempunyai tujuan yaitu apabila hubungan pernikahan terpaksa diputuskan, maka hubungan baik dengan mantan istri dan keluarganya harus tetap dijaga dan dipertahankan meskipun harus memberikan mutah, pemberian tersebut harus dilakukan dengan iklas dan sopan tanpa menunjukkan kegusaran hati atau penghinaan terhadap mantan istri.[24]
Dari sekilas pengertian serta legalitas nafkah idah dan mutah di atas, dapat dipahami bahwa nafkah idah dan mutah merupakan nafkah yang diberikan mantan suami kepada mantan istri dan yang masih memiliki hak rujuk, sehingga nafkah idah dan mutah tersebut secara fungsi merupakan sesuatu yang bisa digunakan setelah terjadinya perceraian. Oleh karena itu prinsip utama dari nafkah idah dan mutah adalah waktu penggunaanya (dipergunakan saat masa idah) bukan waktu pembayaraannya. Bisa jadi kedua belah pihak sama-sama berkeinginan kuat untuk bercerai terlepas dari mana awal sebab perselisihan dan pertengkaran maupun sebabnya. Namun menjadi masalah justru suami sudah bersedia membayar nafkah idah dan mutah ternyata setelah berikrar pergi tak diketahui rimbanya, atau tidak dibayar justru biaya pendaftaran eksekusi di pengadilan setengah atau bahkan hampir sama dengan nafkah idah dan mutah yang diperolehnya.
- Praktek Pembebanan Idah dan Mutah di Pengadilan Agama
Dalam beberapa perkara cerai talak, sering dijumpai amar putusan yang mengabulkan memberi izin kepada pemohon untuk mengucapkan ikrar talak disertai dengan menghukum membebankan kepada pemohon untuk membayar kepada termohon berupa sejumlah harta berup mutah, nafkah idah dan atau nafkah lain yang terkait dengan kewajiban suami terhadap istri yang diceraiakannya. Penulis sependapat dengan pengamatan Kusnoto[25] pada umumnya amar dalam beberapa putusan perkara cerai talak di Pengadilan Agama hanya menyebutkan beberapa unsur, di antaranya unsur subyek yang membayar, obyek yang dibayar, jumlah dan wujud harta yang harus dibayarkan serta jenis pembayaran akan tetapi amar tersebut tidak memuat batas waktu pembayaran. padahal di sisi lain yang erat kaitannya dengan hal itu, bahwasanya masa pengucapan ikrar talak tersebut dibatasi oleh waktu maksimal 6 (enam) bulan setelah ditetapkan hari sidang ikrar talak.[26]
Pada saat hari sidang pengucapan ikrar talak yang telah ditetapkan ternyata Pemohon serta Termohon hadir di persidangan, namun Pemohon belum siap dengan sejumlah uang atau harta yang dibebankan kepadanya untuk diserahkan kepada Termohon (mantan istrinya nanti), dalam kondisi seperti itu memang tidak sedikit dijumpai majelis hakim yang hendak menyaksikan pengucapan ikrar talak tersebut berusaha menyarankan atau mempengaruhi bahkan terkesan menekan Pemohon agar menunda pengucapan ikrar talak tersebut sampai telah siap dengan beban yang diberikan kepada Pemohon.[27]
Putusan adalah suatu pernyataan hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu dan diucapkan dalam persidangan yan terbuka untuk umum dengan tujuan menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara pihak yang berperkara.[28] Selain itu menurut Abdul Manan,[29] putusan adalah kesimpulan akhir yang diambil oleh Majelis Hakim yang diberi wewenang untuk itu dalam menyelesaikan atau mengakhiri suatu sengketa antara pihak-pihak yang berperkara dan diucapkan dalam sidang teruka untuk umum.
Putusan merupakan mahkota hakim, yang dapat memberikan keadilan bagi pencari keadilan, akan tetapi keadilan saja tidak cukup, karena sebuah putusan juga harus memuat unsur kepastian hukum, dan juga adanya kemanfaatan. Jika ternyata putusan justru menimbulkan masalah baru maka putusan tersebut tidak memberikan sebuah arti kepastian hukum apalagi memberikan manfaat bagi kedua belah pihak, meskipun dahaga akan keadilan tidak selalu bisa dihilangkan. Masyarakat hanya mengharapkan bahwa pelaksanaan hukum harus memberi manfaat, karena memang hukum adalah untuk manusia, maka dalam melaksanakan hukum jangan sampai justru menimbulkan keresahan dalam masyarakat, demikian juga hukum dilaksanakan bertujuan untuk mencapai keadilan, sehingga dengan ditegakkannya hukum akan memberikan rasa keadilan bagi masyarakat, meskipun sebenarnya keadilan itu sendiri bersifat subyektif dan individualistis.
Pada praktiknya pembebanan nafkah idah dan mutah bisa berupa adanya tuntutan balik (rekonvensi) dari Termohon dan bisa juga secara ex officio (hakim karena jabatannya)[30] dalam putusan hakim bersifat condemnatoir (menghukum), karena sifatnya tersebut maka sebuah kewajiban secara hukum yang harus dilaksanakan bagi terhukum (dalam konteks ini) adalah Pemohon, akan tetapi melihat realita yang terjadi sebagaimana disebutkan di atas maka hal ini menjadi masalah dalam pelaksanaan ikrar talak. Sayangnya dalam dalam al-Qur’an, sunnah, kitab fiqih serta Kompilasi Hukum Islam belum ditemukan secara pasti mengenai batas waktu dan tempat penunaian mutah, begitu juga dengan nafkah idah.[31]
Dengan tidak adanya aturan hukum yang jelas tentang masa/waktu pembayaran mutah dan nafkah idah oleh Pemohon tersebut, sebenarnya menjadi ruang bagi hakim untuk melakukan terobosan hukum dengan memberikan pertimbangan sendiri tentang masa pembayaran mutah dan idah tersebut tentunya dengan pertimbangan yang logis dengan kandungan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.
- Aspek Yang Mendasari Penentuan Masa Pembayaran Nafkah Idah dan Mutah.
Tidak sedikit di Pengadilan Agama sudah mempratikkan dengan menentukan masa pembayaran mutah dan idah dan masih banyak yang tidak menentukan yang akhirnya majelis hakim akan bingung sendiri.
Belum lagi tidak ada aturan yang menjamin akan dibayarnya nafkah idah dan mutah oleh suami (pemohon) kepada istri (termohon), karena tidak sedikit dalam realitanya setelah selesai pengucapan ikrar talak tersebut pemohon pergi dan tidak diketahui kemana rimbanya, sedangkan mantan istri (termohon) harus menjalani masa idah dan kebingungan dalam mencukupi kebutuhan hidupnya terutama dalam masa idah yang memagarnya,[32] sehingga hal ini membuat mantan istri bingung dan akhirnya mengadu ke pengadilan agama mempertanyakan hak nafkah idah dan mutahnya. Bagaimana tidak, senyatanya pengadilan agama telah membebankan mantan suaminya untuk membayar nafkah idah dan mutah yang tertuang dalam putusan. Dalam kondisi realita yang demikian bagaimana sikap pengadilan agama atas putusannya tersebut?[33], dan bagaimana memberikan perlindungan bagi wanita yang ditalak suaminya tersebut?.
Realita tersebut memang bersifat kasuistis, namun bisa jadi di pengadilan agama di daerah seperti itulah yang kadang atau bahkan sering ditemui di lapangan, sehingga menjadi problem yang dilematis bagi penegak hukum yang berada di lapisan bawah yang tentunya berhadapan langsung dengan pencari keadilan (justiciabellen). Bisa jadi banyak problem lain yang senada dengan kasus di atas, oleh karena itu perlu adanya pemikiran hukum yang bisa jadi merupakan sebuah terobosan atau rekonstruksi hukum guna memberikan solusi hukum atas permasalahan tersebut.
Dengan beberapa problem yang mungkin terjadi di daerah tentang pembayaran nafkah idah dan mutah, berikut penulis akan melakukan penelusuran sederhana dari pertimbangan hukum dari putusan PA Pacitan, dengan nomor 524/Pdt.G./2015/PA Pct, yang diputus tanggal 09 September 2015 atas penentuan masa pembayaraan nafkah idah dan mutah, yang kemudian dari pertimbangan hukum tersebut penulis mencoba menganalisa dari alasan hukum (legal reasoning), pertimbangan putusan tersebut serta analisa penulis dimaksudkan juga sebagai tawaran pemikiran hukum, sebagai berikut:[34]
Menimbang, bahwa Pemohon telah menyatakan kesanggupan memberikan nafkah idah kepada Termohon sebesar Rp 500.000;
Menimbang, bahwa seorang suami yang akan menceraikan istrinya berkewajiban pula untuk memberikan mutah sebagaimana maksud pasal 41 huruf (c) UU no 1 tahun 1974 jo pasal 158 KHI;
Menimbang, bahwa berdasarkan pasal 149 huruf (a) KHI bahwa apabila perkawinan putus karena talak, maka mantan suami wajib memberikan mutah yang layak kepada mantan istrinya, baik berupa uang atau benda kecuali istri tersebut qabla dukhul;
Menimbang, bahwa dalam perkainan Pemohon dan termohon ba’da dhukhul dan perceraian antara Pemohon dan Termohon terjadi karena talak, maka dengan demikian Pemohon wajib memberikan mutah kepada Termohon;
Menimbang, bawa Pemohon telah menyatakan kesanggupan memberikan mutah kepada Termohon berupa uang sebesar Rp 200.000;
Menimbang bahwa atas kesanggupan Pemohon untuk memberikan nafkah idah dan mutah kepada Termohon tersebut, Termohon telah pula menerima kesanggupan Pemohon, oleh karena itu kesanggupan Pemohon tersebut patut dimuat dalam amar putusan;
Menimbang, bahwa agar putusan ini bukan hanya berkepastian hukum, tetapi harus berkeadilan dan bermanfaat, maka mengenai kewajiban membayar nafkah idah dan mutah pada hakikatnya lahir setelah terjadinya perceraian, sebagaimana dijelaskan di dalam pasal 117 KHI, bahwa talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, namun demikian ketentuan sebagaimana dipertimbangkan di atas, apabila dikaji dalam tataran praktis kelonggaran pembebanan nafkah idah dan mutah yang dapat diserahkan setelah adanya ikrar talak dominan menciderai rasa keadilan pihak istri, karena apa yang menjadi haknya sesuai putusan Pengadilan, tidak serta merta bisa diperolehnya. suami yang sudah mengikrarkannya dengan mudah melupakan kewajibannya dengan berbagai alasan, sementara istri harus berpikir panjang untuk mengajukan permohonan eksekusi denga biaya yang biasanya lebih banyak daripada hak yang akan diperolehnya, akibatnya putusan Pegadilan jauh dari rasa keadilan (legal justice) dan kemanfaatan (legal certainty) selanjutnya dengan sendirinya membuka ruang kesengsaraan berkepanjangan bagi seorang istri, karena selain ditinggal suami, juga harus bersusah payah mencari nafkah untuk kelanjutan hidupnya padahal perceraian sendiri merupakan jalan keluar dari madlarat dalam rumah tangga;
Menimbang, bahwa apabila berpedoman kepada ketentuan pasal 34 ayat (3) UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan jo Pasal 77 ayat (5) KHI, bahwa jika suami istri melaliakan kewajibannya, maisng-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama, maka dapat difahami kalau sebelum terjadinya perceraian pun seorang suami dapat dipaksa untuk memenuhi kewajiban yang dilalaikan terhadap istrinya, apalagi setelah putusan berkekuatan hukum tetap walaupun suami tersebut belum mengikrarkan talaknya di persidangan;
Menimbang, bahwa dengan berpedoman kepada asas sederhana, cepat dan biaya ringan, maka lebih adil dan bermanfaat serta lebih efektif jika pembebanan nafkah idah dan mutah dibayar sebelum ikrar talak, demi untuk menghindari kesengsaraan Termohon setelah ikrar talak tanpa kepastian mendapatkan apa yang menjadi haknya, maka dalam halini terjadi benturan antar legal unity dengan legal justice, sehingga membutuhkan solusi untuk mengakhirinya, maka menurut majelis, ketika terjadi benturan antara kepastian hukum dengan keadilan, maka yang harus diutamakan adalah keadilan walaupun harus mengorbankan kepastian hukum, karena jauh lebih manfaat apabila mendahulukan mencegah kemudlaratan berkepanjangan bagi Termohon dengan trelebih dahulu memberikan apa yang menjadihaknya dibandingkan mendahulukan pemberian hak Pemohon mengikrarkan talaknya dengan menunda seluruh kewajibannya kepada Termohon, hal ini sejalan dengan kaidah usul fiqih yang berbunyi:
د رأ المفاسد مقدّم على جلب المصالح
“Menghindari beberapa mafsadat (kerusakan) lebih diutamakan dari pada mengambil beberapa maslahat (kebaikan)”;
Menimbang, bahwa oleh karena itu majelis berpandangan, sekalipun nafkaj idah dan mutah merupakan kewajiban yang terjadi setelah perceraian, namun harus dibayar terlebih dahulu sebelum Pemohn mengucapkan ikrar talak, sehingga apa yang menjadi hak Termohon bukanlah pepesan kosong, tetap bisa menjadi kenyataan dan pihak-pihak pun tidak memandang putusan pembayaran nafah idah dan mutah harus dipaksakan pemenuhannya sebelum ikrar talak tanpa harus dikaitkan dengan azaz eksekusi.
Mencermati hasil pertimbangan dalam putusan tersebut di atas, setidaknya ada tiga aspek argumentasi ilmiah yang melatarbelakangi penentuan masa pembayaran mutah dan nafkah idah yang dilakukan sebelum melakukan ikrar talak, yaitu pertimbangan dari aspek yuridis, filosofis dan sosiologis[35] yang diuraikan sebagai berikut:
Pertama, aspek yuridis, bahwa langkah yang dilakukan hakim dalam menetapkan pembayaran nafkah sebelum ikrar talak juga tidak menyalahi aturan perundang-undangan yang ada di Indonesia karena dalam pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 bahwa “pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya” dan pasal 5 ayat (1) bahwa “hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.[36] Ketentuan tersebut membuktikan bahwa tugas hakim tidak hanya mengadili berdasarkan hukum yang ada, akan tetapi harus menciptakan dan menemukan hukum berdasarkan pandangan dan nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat.
Seorang suami yang telah menceraikan istrinya wajib memberikan nafkah idah dan mutah, hal ini sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 149 dan Pasal 158 sebagai berikut:
Pasal 149
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
- memberi mut‘ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut (ditalak) qabla ad-dukhul.
- memberi nafkah, maskan (tempat tinggal) dan kiswah (pakaian) kepada bekas istri selama masa idah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba‘in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
- melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya, dan separuh apabila qabla ad-dukhul.
- memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.
Pasal 158
Mutah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat:
- belum ditetapkan mahar bagi istri ba’da ad-dukhul.
- perceraian itu atas kehendak suami.
Kompilasi Hukum Islam di atas hanya mengatur tentang wajibnya suami memberikan hak nafkah idah dan mutah untuk istri, akan tetapi tidak adanya peraturan perundang-undangan manapun yang mengakomodir dalam penjaminan nafkah terhadap istri apabila suami tidak mau membayar nafkah tersebut.
Prosedur yang ada tentang pengajuan permohonan eksekusi terlalu memberatkan istri, nafkah yang harus diperjuangkan tidak sebanding dengan yang dikeluarkan untuk biaya mengajukan permohonan eksekusi. Oleh karena itu, disinilah kekurangan dari undang-undang yang ada, perlu adanya pengkajian ulang untuk merubah (revisi) agar diatur juga tentang kapan nafkah istri diberikan dan tindak lanjut apabila suami tidak bisa membayar nafkah istri setelah perceraian. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa langkah yang diambil majelis hakim tersebut telah sesuai dengan teori normatif-dogmatik bahwa tujuan hukum semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum dalam melegalkan kepastian hak dan kewajiban seseorang.
Kedua, aspek filosofis, bahwa pertimbangan pembayaran nafkah idah dan mutah yang dilakukan sebelum ikrar talak merupakan ijitihad dari hakim secara kolektif, kebijakan tersebut dilakukan sebagai langkah dalam menegakkan hukum dan memperjuangkan hak nafkah istri yang seharusnya dipenuhi oleh suami. Ijtihad hakim diperbolehkan dalam hukum Islam, hakim diposisikan sebagai mujtahid yang harus mengambil kesimpulan dan menetapkan hukum. Ijtihad seorang hakim diharamkan apabila perkara yang sudah ada hukumnya dan telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang qat’i, jadi apabila ada perkara yang tidak mempunyai ketetapan hukum maka hakim diperbolehkan berijtihad asalkan ijtihad tersebut tidak menyalahi peraturan-peraturan yang ada dan dipergunakan untuk menegakkan keadilan dan kemaslahatan ummat.
Pemberlakuan peraturan perundang-undangan tidak luput dari dasar kekuatan filosofis yang menyangkut pandangan mengenai inti atau hakikat dari kaidah hukum dalam hal ini untuk menjamin keadilan, ketertiban dan kesejahteraan. Ijtihad yang dilakukan hakim tersebut merupakan upaya untuk memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan dengan menetapkan pembayaran nafkah sebelum ikrar talak. Ijtihad hakim tersebut juga sesuai dengan tujuan hukum, yaitu teori etis yang semata-mata mengedepankan keadilan, hal ini berdasar pada Ilustitia est constans et perpetua ius suum cuique tribuere yang artinya memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi bagian atau haknya.[37] Haknya istri mendapatkan nafkah dari suami hingga masa idahnya selesai dan upaya hakim dalam menanggulangi kecurangan suami melalui penetapan pembayaran nafkah sebelum ikrar talak.
Ketiga, aspek sosiologis, bahwa langkah hakim dalam memperjuangkan nafkah istri adalah melalui pendekatan persuasif, tidak serta merta dihukum untuk membayar dengan jumlah yang ditentukan, akan tetapi juga melihat segi kemampuan dan kesanggupan pemohon untuk membayar, sehingga tidak ada alasan bagi tidak mampu sedangkan pihak yang dibebankan membayar sanggup dan menyetujui dan yang menerima juga legowo tanpa ada yang merasa rugi dan dirugikan sehingga mencapai kemanfaatan bagi kedua belah pihak yang berperkara. Metode yang digunakan oleh majelis hakim tersebut merupakan upaya untuk memperjuangkan nafkah istri dan sudah efektif, karena dari para pihak tidak ada yang merasa dirugikan. Langkah tersebut juga senafas dengan teori utilitas bahwa tujuan hukum semata-mata untuk menciptakan kemanfaatan.[38]
- Penutup
Dari apa yang diuraikan di atas, setidaknya hakim dalam memutus perkara khususnya perceraian tidak harus berfikir dan mengadili secara prosedural (normatif), akan tetapi perlu adanya upaya terobosan hukum sebagai langkah penemuan hukum (rechtvinding) sehingga mencakup sebuah kerangka berfikir (legal frame) dan keadilan substantif. Tujuan hukum adalah untuk mencapai kepada kepastian hukum dan kemanfaatan hukum serta keadilan, baik dalam rangka penegakan hukum maupun dalam penemuan hukum.
Perlindungan terhadap wanita juga merupakan upaya menciptakan keadilan gender yang di Peradilan Agama sendiri kini cukup menjadi perhatian, salah satunya dengan menentukan masa pembayaran nafkah idah dan mutah dalam perkara cerai talak. Meskipun demikian sebagai kewajiban juga untuk memperhatikan dan mematuhi aturan yang dalam kajian ini menyangkut ketentuan SEMA Nomor 3 Tahun 2015, agar sebuah sistem di lembaga peradilan khususnya peradilan agama berjalan secara harmonis.
Daftar Pustaka
- Buku
Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syarf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab Juz 17, Bairut: Daar al-Fikr, t.th.
Ad-Duraiwisy, Yusuf, Nikah Siri, Mutah Dan Kontrak Dalam Timbangan Al-Qur’an dan As-Sunnah, Cet I, Darul Haq: Jakarta, 2010
Al-Anshori, Syeikh Zakariya, Tuhfatut Thullab, Indonesia: Al-Haromain, 1977.
Al-Jauziah, Ibnu al-qayyim, I’lam al Muwaqqi’in ‘an Raab al-alamin, juz II, Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993.
Al-Maliki, Muhammad bin Ahmad bin Urfah Ad-Dasuki, Hasyiyah Ad-Dasuki ‘Ala Asy-Syarh Al-Kabir, Juz II, t.t: Daar al-Fikr, t.th.
As-Sarkhosi, Muhammad bin Ahmad bin Abu Sahal Syams, Al-Mabsuth Juz 5, Bairut: Dar Al-Ma’rifah, t.th.
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996.
Ghazaly, M.A., Drs. H. Abd. Rahman, Fiqh Munakahat, (Jakarta Timur: Prenada Media, 2003
Machmudin, Dudu Duswara, Pengantar Ilmu Hukum; Sebuah Sketsa, Bandung: PT Refika Aditama, 2003.
Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Penerbit Kencana, 2005.
Muhammad al-Khathib asy-Syarbainiy, Mughniy al-Muhtaj, Beirut: Dar al-Fikr, t.th., Juz 3.
Muhdlor, Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi, Al-Munawwir, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Yogyakarta: Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak, 1999
Nuruddin, Aniur, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004.
Sabiq, Sayyid, Fiqh as-Sunnah, Jilid 2, Beirut: Daar al-Fikr, 1983.
Salim, Abu Malik Kamal bin As-Sayyid, “Shahih Fiqh As-Sunnah Wa Adillatuhu Wa Taudhih Madzahib Al-A’immah”, diterjemahkan Khairul Amru Harahap, Shahih Fikih Sunnah, Cet I, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1999.
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, Cet II, Jakarta: Kencana, 2007.
Ubaidi, Muhammad Ya’qub Thalib, “Ahkam An-Nafaqah Az-Zaujiyah”, diterjemahkan M. Ashim, Nafkah Istri: Hukum Menafkahi Istri Dalam Perspektif Islam, Cet I, Jakarta: Darus Sunnah Press, 2007.
- Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam.
- Internet
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online http://kbbi.web.id/mutah, diakses tanggal 29 Maret 2016.
Http://syariah.uin-malang.ac.id, diakses 29 Maret 2016.
Kusnoto, Masa Pembayaran Mutah Dan Nafkah Iddan Kaitannya Dengan Hak Pengucapak Ikrar Talak (Kajian Putusan Perkara Cerai Talak Yang Memuat Beban Mutah Dan Nafkah Idah), Badilag.net, http://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/masa-pembayaran-beban-mutah-dan-nafkah-idah-kaitannya-dengan-hak-pengucapan-ikrar-talak-oleh-kusnoto-shi-mh-20-10
Fauzan, S.H.I., MA, Dr. Muhammad, Maqashid Nafkah Idah dan Perlindungan Perempuan, http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/hukumislam/article/view/2684
[1] Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal al-Ahwal UIN Sunan Kaligaja Yoryakarta Vol.10 No. 1 tahun 2017. Lihat http://ejournal.uin-suka.ac.id/syariah/Ahwal/article/view/1240/1293
[2] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
[3] Lihat Pasal 2, Kompilasi Hukum Islam.
[4] Yusuf ad-Duraiwisy, Nikah Siri, Mut’ah Dan Kontrak Dalam Timbangan Al-Qur’an dan As-Sunnah, Cet I, (Darul Haq: Jakarta, 2010), hlm. 30.
[5] حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَالِدٍ، عَنْ مُعَرِّفِ بْنِ وَاصِلٍ، عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ” أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلَاقُ, (HR. Sunan Abu Daud).
[6] Lihat Pasal 81 Ayat 1 Kompilasi Hukum Islam.
[7] Pada saat artikel dimunculkan saat itu beliau bertugas sebagai Hakim Pratama Muda pada Pengadilan Agama Natuna dan dipublikasikan dalam badilag.net pada tanggal 20 September 2014, lihat http://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/masa-pembayaran-beban-mutah-dan-nafkah-iddah-kaitannya-dengan-hak-pengucapan-ikrar-talak-oleh-kusnoto-shi-mh-20-10.
[8] Ibnu al-Qayyim al-Jauziah, I’lam al Muwaqqi’in ‘an Rab al-alamin, juz II, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), 1993, hlm. 11.
[9] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), hlm. 1449.
[10] Ibid., Fauzan, S.H.I., MA, Maqashid …, hlm. 3.
[11] Ibid.
[12] H.S.A. Alhamdani, Risalah Nikah, terj. Agus Salim, edisi ke-2, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hlm. 144.
[13] Ibid., hlm. 1274.
[14] Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Jilid 2, (Beirut: Daar al-Fikr, 1983), hlm. 277, lihat juga Syeikh Zakariya Al-Anshori, Tuhfatut Thullab (Indonesia: Al-Haromain, 1977), hlm. 109., lihat juga Aniur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 20.
[15] Lihat dalam artikel Dr. Muhammad Fauzan, S.H.I., MA, Maqashid Nafkah Iddah dan Perlindungan Perempuan, hlm.8, http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/hukumislam/article/view/2684, diunduh pada tanggal 20 Februari 2017.
[16] Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, “Sahih Fiqh As-Sunnah Wa Adillatuhu Wa Taudih Mazahib Al-A’immah”, diterjemahkan Khairul Amru Harahap, Shahih Fikih Sunnah Cet I, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hlm. 499.
[17] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan Cet II, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 322.
[18] Muhammad bin Ahmad bin Abu Sahal Syams As-Sarkhosi, Al-Mabsut, Juz 5, (Bairut: Dar Al-Ma’rifah, t.th), hlm. 201-202.
[19] Muhammad Ya’qub Thalib Ubaidi, “Ahkam An-Nafaqah Az-Zaujiyyah”, diterjemahkan M. Ashim, Nafkah Istri: Hukum Menafkahi Istri Dalam Perspektif Islam Cet I, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2007), hlm. 185.
[20] Muhammad bin Ahmad bin Urfah Ad-Dasuki Al-Maliki, Hasyiyah Ad-Dasuki ‘Ala Asy-Syarh Al-Kabir, Juz II (t.t: Dar al-Fikr, t.th), hlm. 515.
[21] Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syarf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh} Al-Muhazab Juz 17, (Bairut: Dar al-Fikr, t.th), hlm. 262.
[22] Muhammad al-Khathib asy-Syarbainiy, Mugniy al-Muhtaj, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Juz 3, hlm. 241.
[23] Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia Online http://kbbi.web.id/mutah, diakses tanggal 29 Maret 2016.
[24] Drs. H. Abd. Rahman Ghazaly, M.A., Fiqh Munakahat, (Jakarta Timur: Prenada Media, 2003), hlm. 92-93., lihat juga Http://syariah.uin-malang.ac.id, diakses tanggal 29 Maret 2016.
[25] Kusnoto, Masa Pembayaran Mutah Dan Nafkah Iddan Kaitannya Dengan Hak Pengucapak Ikrar Talak (kajian Purusan Perkara Cerai Talak Yang Emmuat Beban Mut’ah Dan Nafkah Iddah), badilag.net, diakses tanggal 29 Maret 2016.
[26] Lihat pasal 131 angka (4) Kompilasi Hukum Islam.
[27] Kusnoto, Ibid.
[28] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1999), hlm. 175.
[29] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Penerbit Kencana, 2005), hlm. 292.
[30] Lihat pasal 41 huruf (c) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[31] Kusnoto, Ibid.
[32] Ditinjau dari prespektif maqasid al-syar’iyyah, maka seorang mantan istri selama dalam masa iddah wajib diberikan nafkah karena tanpa adanya nafkah maka mantan istri tersebut akan berada dalam kondisi bahaya disebabkan tidak adanya nafkah. Dikaitkan dengan dharuriyyat al-khamsah (lima masalah pokok), mashlahan dalam perlindungan mantan istri tersebut adalah hifz al-nafs (memelihara jiwa), lihat Fauzan, S.H.I., MA, Maqashid Nafkah Iddah Ibid. hlm. 4.
[33] Keadaan seperti ini juga menyangkut kewibawaan lembaga peradilan agama, preseden yang ditangkap oleh masyarakat nantinya bisa jadi putusan pengadilan agama ternyata tumpul/tidak bergigi;
[34] Pertimbangan hukum putusan PA Pacitan ini dipilih dan diambil oleh penulis sebagai sample/contoh untuk dianalisa, karena konstruksi berfikir dalam pertimbangan majelis hakim tersebut senada dengan konstruksi pikir dari penulis, sehingga berkaitan dengan kajian dalam tulisan ini. Mungkin banyak juga putusan-putusan senada yang pernah memutus perihal masalah serupa dengan berbagai model legal reasoning dan perlu digaris bawahi putusan ini diputus sebelum keluarnya Sema Nomor 3 tahun 2015, tanggal 29 Desember 2015.
[35] Sebagaimana pendapat Sudikno Mertokusumo dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Demikian juga putusan hakim untuk menyelesaikan suatu perkara yang diajukan di Pengadilan, bahwa putusan yang baik adalah yang memperhatikan tiga nilai unsur yaitu yuridis (kepastian hukum), nilai sosiologis (kemanfaatan),dan folosofis (keadilan).
[36] Lihat Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman.
[37] Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum; Sebuah Sketsa (Bandung: PT Refika Aditama, 2003), hlm. 22-23.
[38] Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum, Ibid. hlm. 26