798 Warga Gaza Tewas Saat Antre Bantuan, Sistem Distribusi Kemanusiaan Tuai Kritik

VNN.co.id — Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) mencatat bahwa dalam enam pekan terakhir, setidaknya 798 warga Palestina tewas saat mengantre bantuan di posko kemanusiaan di Gaza.
Dikutip dari CNN Indonesia, Juru Bicara OHCHR Ravina Shamdasani menyatakan, "(Dari 27 Mei 2025) hingga 7 Juli, kami mencatat ada 798 orang terbunuh, termasuk 615 di sekitar lokasi Yayasan Kemanusiaan Gaza, dan 183 orang terbunuh diduga di jalur konvoi bantuan," dalam konferensi pers di Jenewa, Swiss, pada Sabtu (12/7).
Data OHCHR dikumpulkan dari berbagai sumber, termasuk rumah sakit di Gaza, pemakaman, kerabat korban, otoritas kesehatan Palestina, dan organisasi nonprofit di lapangan. Shamdasani menambahkan, "Sebagian besar cedera pada warga Palestina di sekitar pusat distribusi bantuan yang dicatat oleh OHCHR sejak 27 Mei adalah luka tembak."
Shamdasani juga menyampaikan keprihatinan atas kejahatan kekejaman yang terjadi.
"Kami telah menyampaikan keprihatinan tentang kejahatan kekejaman yang telah dilakukan dan risiko kejahatan kekejaman lebih lanjut yang dilakukan di mana orang-orang mengantre untuk mendapatkan pasokan penting seperti makanan," ujarnya.
Menanggapi klaim Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF) yang menyebut data OHCHR palsu dan menyesatkan, Shamdasani menegaskan,
"Tidak membantu untuk mengeluarkan penolakan menyeluruh atas keprihatinan kami - yang dibutuhkan adalah penyelidikan mengapa orang-orang terbunuh saat mencoba mengakses bantuan."
Berdasarkan laporan CNN Indonesia, pada awal Juli 2025, sebanyak 169 organisasi kemanusiaan global menyerukan penghentian sistem distribusi bantuan yang dikelola GHF bersama AS dan Israel.
Mereka menyoroti laporan bahwa warga Palestina ditembak dan tewas oleh pasukan Israel saat menunggu bantuan di dekat lokasi distribusi GHF. Kekhawatiran ini muncul akibat mekanisme distribusi yang dianggap tidak aman.
Organisasi-organisasi tersebut mendesak agar distribusi bantuan kembali dikoordinasikan oleh PBB, seperti sebelum penghentian pada Maret 2025 akibat blokade ketat Israel. Meski bantuan mulai masuk secara bertahap sejak akhir Mei, banyak kelompok bantuan internasional menolak bekerja sama dengan GHF karena keterkaitannya dengan otoritas Israel.
Pernyataan bersama dari organisasi kemanusiaan di Eropa, AS, dan Israel yang bergerak di bidang bantuan makanan, medis, pembangunan, dan HAM mengkritik GHF karena mengambil alih distribusi bantuan, yang dinilai menciptakan kondisi berbahaya bagi warga sipil.
Juru bicara GHF menyanggah tuduhan OHCHR dan organisasi kemanusiaan, dengan menyatakan, "Faktanya serangan paling mematikan di situs bantuan adalah bisa dikaitkan dengan konvoi PBB."
Mereka juga mengklaim bahwa kolaborasi dengan PBB dan kelompok kemanusiaan dapat mengurangi insiden kekerasan, serta menyerukan peningkatan volume bantuan.
Sementara itu, militer Israel mengatakan kepada Reuters bahwa mereka sedang meninjau insiden korban massal terbaru dan telah berupaya mengurangi konflik dengan warga sipil melalui pemasangan pagar, rambu, dan rute tambahan.
Israel juga berencana membangun "kota kemanusiaan" di Gaza selatan, yang oleh pengamat Timur Tengah dinilai sebagai upaya pemindahan warga sipil.
Dikutip dari Aljazeera, Lorenzo Kamel, profesor kajian Timur Tengah dari Universitas Turin, Italia, menyatakan,
"Dengan kata lain, mereka yang tersisa kemungkinan besar akan dibunuh," merujuk pada warga Palestina yang menolak masuk ke zona tersebut, yang ia sebut sebagai "kamp pemindahan sebagai persiapan deportasi di selatan Jalur Gaza."
Menurut laporan CNN Indonesia, Aljazeera melaporkan bahwa hingga Sabtu subuh, 98 warga Palestina tewas akibat serangan Israel, dengan 38 di antaranya adalah pengantre bantuan. ***
